JOMBANG. kompaspublik.com- Dugaan Pungutan Liar (Pungli) pada Program Operasi Nasional Agrarian (PRONA) yang dilaksanakan oleh Pemerintah Desa Sidowarek Kecamatan Ngoro Kabupaten Jombang, nampaknya semakin hari, semakin terkuak kenyataannya.
Pasalnya, semua Warga yang menjadi pemohon pengurusan penerbitan sertifikat melalui PRONA, berhasil ditemuai oleh Lembaga Swadaya Madyarskat (LSM) Aliansi Rakyat Anti Korupsi (ARAK), mengaku telah dipungut biaya untuk pembelian patok tanah, materai, foto copy, dan biaya transport, dan pengurusan surat-surat tanah didesa, tapi besarnya biaya pengurusan surat tanah bervariasi. Sehingga dengan mudos tersebut, Pemerintah Desa Sidowarek, disinyalir telah berhasil menipu dan memalak rakyatnya. Dan kabarnya nominal Pungli yang dibebankan oleh Pemerintah Desa Sidowarek kepada pemohon pengurusan sertifikat melalui PRONA kurang lebih sebesar Rp. 500.000,- hingga Rp. 2.500.000.-
Hal itu tetbukti adanya pengakuan Rudiyanto, Koordinator Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) yang juga selaku anggota BPD Sidowarek menjelaskan, “Memang saya termasuk pengawas Prona di Desa Sidowarek ini. Dan tentunya pemohon yang ngurus sertifikat melalui PRONA dikenakan pungut biaya bervariasi, termasuk saya sendiri juga dipungut biaya sebesar Rp 750.000. Sedangkan pembayarannya diserahkan langsung kepada Djuari, Kepala Dusun Kepuh Pandak Desa Sidowarek,” Aku Rudiyanto kepada Media ini. Kamis, 15/02/2018.
Sambung Rudiyanto merincikan, “Bahwa pihak pemerintah desa berdalih, kalau uang pungutan sebesar Rp. 750.000 dari says itu, dipakai untuk biaya materai, patok tanah, foto copy, dan untuk transpot panitia desa sebesar Rp. 150.000, serta untuk pengurusan surat-surat tanah didesa sebesar Rp. 600.000,” Rinciannya.
Lanjut Rudiyanto membeberkan, “Nampaknya biaya pungutan Prona disetiap dusun besarnya bervariasi. Misalnya di Dusun Kepuh pandak, pertama Kepala dusun memungut biaya mulai dari Rp 750 ribu hingga Rp 1,5 juta, bahkan lebih disesuaikan dengan luas tanah, untuk tanah sawah dipungut lebih mahal. Kemudian pungutan tersebut diprotes oleh masyarakat, karena terlalu mahal,” Bebernya.
Sebenarnya, masih Rudiyanto menjelaskan, “Kepala Desa juga mengetahui adanya pungutan tersebut. Namun setelah diprotes warga, besaran nominal pungutan diturunkan, dan disamakan menjadi Rp 650.000, dengan perincian: Rp. 150.000 untuk biaya materai, patok, foto copy, dan biaya transpot. Dan yang Rp. 500.000 untuk biaya pengurusan surat-tanah didesa,” Jelasnya.
Heran Rudiyanto menerangkan, “Dengan adanya biaya pengurusan surat-surat yang dibandrol sebesar Rp 500.000 oleh pihak pemerintah desa, sangat mengherankan. Karena surat-surat yang diurus oleh pihak pemerintah desa itu, surat-surat apa?,” Herannya.
“Didusun Kepuh pandak, ada dua orang KPM, yaitu saya (Rudiyanto) dan Eni. Namun namanya Eni tidak dilibatkan apa-apa. Tapi saya ikut dilibatkan membantu pelaksanaan Prona didusun Kepuh pandak, saya ikut mengukur tanah. Tapi saya tidak dapat bayaran.Untuk pemohon didusun Kepuh pandak, ada sekitar 300 pemohon sertifikat Prona.” Ungkap Rudiyanto.
Hal senada diungkapkan warga desa Sidowarek berinisial TO (60), ia mengatakan, saya mengajukan tiga sertifikat, saya dipungut Rp 3 juta rupiah, setiap 1 sertifikat saya dipungut Rp 1juta.
“Saya heran waktu di kantor balai desa (sosialisasi) Sidowarek, yang dihadiri perwakilan Pengadilan, Kejaksaan, Polres Jombang, Polsek, juga Camat, bahwa biaya sertifikat pemutihan (Prona), biayanya Rp. 150.000. Tapi kenyataannya saya dipungut biaya sebesar Rp 3 juta. Dan pemohon lain, pungutannya macam-macam (Bervariasi), ada yang Rp 1 juta, ada yang Rp 1,5 juta, ada yang Rp 2,5 juta. Bahkan ada yang Rp 3 juta. Itu namanya nipu masyarakat, kalau saya masih muda saya bacok itu Kasunnya.” Kata TO (75) geram atas pungutan tersebut.
Terpisah, Koordinator LSM ARAK, Safri Nawawi, mengatakan, “Jika dikutip surat keputusan bersama (SKB) yang dibuat oleh tiga menteri, yaitu Menteri Agraria dan tata ruang, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Desa, pembangunan daerah tertinggal, dan Transmigrasi. Nomor : 25/SKB/V/2017, Nomor : 590-31674 tahun 2017, dan Nomor : 34 Tahun 2017, Tertanggal 22 Mei 2017. Tentang pembiayaan persiapan tanah sistematis. pemerintah desa dipulau jawa dan Bali, hanya boleh menarik biaya Rp 150 ribu untuk biaya materai, patok tanah, foto copy, dan biaya transpot panitia didesa. Sehingga biayanya pengurusan sertifikat melalui PRONA tidak boleh melebihi dari besaran Rp. 150 ribu. Jadi pemerintah desa Sidowarek tidak boleh memungut biaya lebih dari Rp 150 ribu. Jika lebih dari itu, maka termasuk Pungli, apalagi biaya pungutannya PRONA kepada pemohon sampai ada yang tembus Rp 3 juta, malah sangat melanggar aturan pemerintah yang berlaku, hingga perlu adanya tindakan tegas dari penegak hukum menangkap Kepala Desa dan Kepala Dsun yang terlibat dalam praktek Pungli tersebut.” Tegas Safri.
Masih menurut Safri, dalam SKB tiga menteri tersebut, juga ditegaskan bahwa pemohon sertifikat Prona dibebaskan dari biaya pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Jadi tidak ada dasar hukum apa-apa pemerintah desa Sidowarek, berani memalak pemohon sertifikat Prona dengan dalih biaya surat-surat di desa.
“Jadi jelas-jelas tidak ada dasar hukumnya, pemerintah Desa Sidowarek, menarik biaya surat-tanah warga dari warga. Dan pemerintah desa Sidowarek juga tidak punya hak menarik pajak BPHTB dari masyarakat, karena pembayaran pajak BPHTB dibayar melalui bank-bank yang ditunjuk pemerintah, atau melalui Kantor Dinas pendapatan daerah. Jadi kami minta aparat penegak hukum menangkap Kepala desa Sidowarek, dan kepala dusun yang terlibat praktek Pungli tersebut.” Tegas Safri.
Prantek Pungli proyek Prona desa Sidowarek, bisa dikatakan praktek korupsi, karena sudah memenuhi unsur-unsur korupsi.
Unsur korupsi ada 4 yakni unsur penyalahgunaan jabatan, unsur perbuatan melawan hukum, unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain, dan unsur kerugian.
Safri menjelaskan, Pungli Prona didesa Sidowarek, memenuhi 4 unsur tersebut, yakni : Pungutan Prona yang mencapai antara Rp 500 ribu, hingga Rp 2,5 juta, bahkan ada yang sampai Rp 3 juta, pungutan itu tidak ada dasar hukumnya; Pungutan Prona didesa Sidowarek, sudah melebihi ketentuan SKB tiga menteri; Dari praktek pungutan Prona yang melebihi ketentuan SKB tiga menteri tersebut, ada pihak-pihak yang diuntungkan (oknum pemerintah desa), dan dari praktek pungutan tersebut telah merugikan perekonomian masyarakat.
“Pejabat korupsi, tidak harus mengorupsi uang Negara, sehingga merugikan keuangan Negara. Pungli yang dilakukan pejabat itu bisa dikatakan korupsi, jika merugikan perekonomian masyarakat. Kalau penegak hukum di Jombang, tutup mata dengan kasus Pungli Prona di Sidowarek, kami pastkan kami akan mendemo kantor kejaksan negeri Jombang, dan Polres Jombang’.” Tegas Safri.
Dari pantauan dilapangan di desa Sidowarek, terdapat 1.500 pemohon sertifikat Prona 2017. Pungutan yang ditarik Pemerintah desa Sidowarek bervariasi mulai dari Rp 500 ribu hingga Rp 2,5 juta, per sertifikat. Jika dihitung dari nilai pungli paling kecil Rp 500 ribu x 1.500 = Maka uang haram yang terkumpul mencapai Rp 750 juta, bahkan lebih. Artinya jika dikalikan rata-rata pungli Rp 750 ribu / sertifikat x 1.500 = hasil pungli bisa mencapai Rp 1.120.000.000. lalu dimana peran aparat penegak hukum di Kabupaten Jombang.
Usai proyek Prona 2017 saat ini Kepala dusun desa Sidowarek, sedang sibuk membangun rumah masing-masing. (Twi).
Hal itu tetbukti adanya pengakuan Rudiyanto, Koordinator Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) yang juga selaku anggota BPD Sidowarek menjelaskan, “Memang saya termasuk pengawas Prona di Desa Sidowarek ini. Dan tentunya pemohon yang ngurus sertifikat melalui PRONA dikenakan pungut biaya bervariasi, termasuk saya sendiri juga dipungut biaya sebesar Rp 750.000. Sedangkan pembayarannya diserahkan langsung kepada Djuari, Kepala Dusun Kepuh Pandak Desa Sidowarek,” Aku Rudiyanto kepada Media ini. Kamis, 15/02/2018.
Sambung Rudiyanto merincikan, “Bahwa pihak pemerintah desa berdalih, kalau uang pungutan sebesar Rp. 750.000 dari says itu, dipakai untuk biaya materai, patok tanah, foto copy, dan untuk transpot panitia desa sebesar Rp. 150.000, serta untuk pengurusan surat-surat tanah didesa sebesar Rp. 600.000,” Rinciannya.
Lanjut Rudiyanto membeberkan, “Nampaknya biaya pungutan Prona disetiap dusun besarnya bervariasi. Misalnya di Dusun Kepuh pandak, pertama Kepala dusun memungut biaya mulai dari Rp 750 ribu hingga Rp 1,5 juta, bahkan lebih disesuaikan dengan luas tanah, untuk tanah sawah dipungut lebih mahal. Kemudian pungutan tersebut diprotes oleh masyarakat, karena terlalu mahal,” Bebernya.
Sebenarnya, masih Rudiyanto menjelaskan, “Kepala Desa juga mengetahui adanya pungutan tersebut. Namun setelah diprotes warga, besaran nominal pungutan diturunkan, dan disamakan menjadi Rp 650.000, dengan perincian: Rp. 150.000 untuk biaya materai, patok, foto copy, dan biaya transpot. Dan yang Rp. 500.000 untuk biaya pengurusan surat-tanah didesa,” Jelasnya.
Heran Rudiyanto menerangkan, “Dengan adanya biaya pengurusan surat-surat yang dibandrol sebesar Rp 500.000 oleh pihak pemerintah desa, sangat mengherankan. Karena surat-surat yang diurus oleh pihak pemerintah desa itu, surat-surat apa?,” Herannya.
“Didusun Kepuh pandak, ada dua orang KPM, yaitu saya (Rudiyanto) dan Eni. Namun namanya Eni tidak dilibatkan apa-apa. Tapi saya ikut dilibatkan membantu pelaksanaan Prona didusun Kepuh pandak, saya ikut mengukur tanah. Tapi saya tidak dapat bayaran.Untuk pemohon didusun Kepuh pandak, ada sekitar 300 pemohon sertifikat Prona.” Ungkap Rudiyanto.
Hal senada diungkapkan warga desa Sidowarek berinisial TO (60), ia mengatakan, saya mengajukan tiga sertifikat, saya dipungut Rp 3 juta rupiah, setiap 1 sertifikat saya dipungut Rp 1juta.
“Saya heran waktu di kantor balai desa (sosialisasi) Sidowarek, yang dihadiri perwakilan Pengadilan, Kejaksaan, Polres Jombang, Polsek, juga Camat, bahwa biaya sertifikat pemutihan (Prona), biayanya Rp. 150.000. Tapi kenyataannya saya dipungut biaya sebesar Rp 3 juta. Dan pemohon lain, pungutannya macam-macam (Bervariasi), ada yang Rp 1 juta, ada yang Rp 1,5 juta, ada yang Rp 2,5 juta. Bahkan ada yang Rp 3 juta. Itu namanya nipu masyarakat, kalau saya masih muda saya bacok itu Kasunnya.” Kata TO (75) geram atas pungutan tersebut.
Terpisah, Koordinator LSM ARAK, Safri Nawawi, mengatakan, “Jika dikutip surat keputusan bersama (SKB) yang dibuat oleh tiga menteri, yaitu Menteri Agraria dan tata ruang, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Desa, pembangunan daerah tertinggal, dan Transmigrasi. Nomor : 25/SKB/V/2017, Nomor : 590-31674 tahun 2017, dan Nomor : 34 Tahun 2017, Tertanggal 22 Mei 2017. Tentang pembiayaan persiapan tanah sistematis. pemerintah desa dipulau jawa dan Bali, hanya boleh menarik biaya Rp 150 ribu untuk biaya materai, patok tanah, foto copy, dan biaya transpot panitia didesa. Sehingga biayanya pengurusan sertifikat melalui PRONA tidak boleh melebihi dari besaran Rp. 150 ribu. Jadi pemerintah desa Sidowarek tidak boleh memungut biaya lebih dari Rp 150 ribu. Jika lebih dari itu, maka termasuk Pungli, apalagi biaya pungutannya PRONA kepada pemohon sampai ada yang tembus Rp 3 juta, malah sangat melanggar aturan pemerintah yang berlaku, hingga perlu adanya tindakan tegas dari penegak hukum menangkap Kepala Desa dan Kepala Dsun yang terlibat dalam praktek Pungli tersebut.” Tegas Safri.
Masih menurut Safri, dalam SKB tiga menteri tersebut, juga ditegaskan bahwa pemohon sertifikat Prona dibebaskan dari biaya pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Jadi tidak ada dasar hukum apa-apa pemerintah desa Sidowarek, berani memalak pemohon sertifikat Prona dengan dalih biaya surat-surat di desa.
“Jadi jelas-jelas tidak ada dasar hukumnya, pemerintah Desa Sidowarek, menarik biaya surat-tanah warga dari warga. Dan pemerintah desa Sidowarek juga tidak punya hak menarik pajak BPHTB dari masyarakat, karena pembayaran pajak BPHTB dibayar melalui bank-bank yang ditunjuk pemerintah, atau melalui Kantor Dinas pendapatan daerah. Jadi kami minta aparat penegak hukum menangkap Kepala desa Sidowarek, dan kepala dusun yang terlibat praktek Pungli tersebut.” Tegas Safri.
Prantek Pungli proyek Prona desa Sidowarek, bisa dikatakan praktek korupsi, karena sudah memenuhi unsur-unsur korupsi.
Unsur korupsi ada 4 yakni unsur penyalahgunaan jabatan, unsur perbuatan melawan hukum, unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain, dan unsur kerugian.
Safri menjelaskan, Pungli Prona didesa Sidowarek, memenuhi 4 unsur tersebut, yakni : Pungutan Prona yang mencapai antara Rp 500 ribu, hingga Rp 2,5 juta, bahkan ada yang sampai Rp 3 juta, pungutan itu tidak ada dasar hukumnya; Pungutan Prona didesa Sidowarek, sudah melebihi ketentuan SKB tiga menteri; Dari praktek pungutan Prona yang melebihi ketentuan SKB tiga menteri tersebut, ada pihak-pihak yang diuntungkan (oknum pemerintah desa), dan dari praktek pungutan tersebut telah merugikan perekonomian masyarakat.
“Pejabat korupsi, tidak harus mengorupsi uang Negara, sehingga merugikan keuangan Negara. Pungli yang dilakukan pejabat itu bisa dikatakan korupsi, jika merugikan perekonomian masyarakat. Kalau penegak hukum di Jombang, tutup mata dengan kasus Pungli Prona di Sidowarek, kami pastkan kami akan mendemo kantor kejaksan negeri Jombang, dan Polres Jombang’.” Tegas Safri.
Dari pantauan dilapangan di desa Sidowarek, terdapat 1.500 pemohon sertifikat Prona 2017. Pungutan yang ditarik Pemerintah desa Sidowarek bervariasi mulai dari Rp 500 ribu hingga Rp 2,5 juta, per sertifikat. Jika dihitung dari nilai pungli paling kecil Rp 500 ribu x 1.500 = Maka uang haram yang terkumpul mencapai Rp 750 juta, bahkan lebih. Artinya jika dikalikan rata-rata pungli Rp 750 ribu / sertifikat x 1.500 = hasil pungli bisa mencapai Rp 1.120.000.000. lalu dimana peran aparat penegak hukum di Kabupaten Jombang.
Usai proyek Prona 2017 saat ini Kepala dusun desa Sidowarek, sedang sibuk membangun rumah masing-masing. (Twi).
Sumber : nusantaraposonline.com