Ecoton bersama KTP dan Mupalas. Dalam 100 liter air Sungai Tambak Wedi ditemukan banyaknya partikel mikroplastik
Surabaya, Media Online Kompaspublik.com-Permukaan sungai di Tambak Wedi, Surabaya, diselimuti buih putih. Itu bukan salju, tapi merupakan dampak pencemaran deterjen yang mengandung fosfat dan klorin.
“Ini akibat banyaknya permukiman yang membuang limbah cair domestik langsung ke sungai. Seperti kita tahu, aktivitas keseharian kita, tidak lepas dari produk personal care, seperti penggunaan sabun, deterjen, shampoo, yang langsung dibuang ke sungai tanpa proses pengolahan. Inilah yang menimbulkan fosfat tinggi dan buih seperti salju,” kata Prigi Arisandi, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton).
Selain mengakibatkan tingginya kadar fosfat dan Total Dissolved Solid (TSD), gunungan busa menyerupai salju di Sungai Tambak Wedi itu, diketahui juga adanya pencemaran partikel mikroplastik.
Mikroplastik ini sangat berbahaya karena akan menimbulkan beragam gangguan terhadap biota. Timbulnya buih menghalangi penetrasi sinar matahari masuk ke dalam air, sehingga menghambat fotosintesis dan mengganggu mobilitas biota perairan, menyebabkan pH air menjadi basa dan bisa membahayakan kehidupan biota air.
“Peristiwa ini sudah bertahun-tahun, masyarakat sudah merasakan sejak tahun 2000-an. Sudah tidak mandi di situ, ikan juga semakin menjauh, dulu banyak orang mancing sekarang tidak ada, Karena sudah tidak ditemukan ikan di situ,” katanya.
Dalam penelitian Ecoton bersama KTP dan Mupalas pada hari Jumat (19/3/2021) dalam 100 liter air Sungai Tambak Wedi ditemukan banyaknya partikel mikroplastik. Banyaknya partikel mikroplastik ini sangat mengkhawatirkan, sebab buih dari Tambak Wedi akan mengalir ke Selat Madura.
“35 persen supply perikanan Jawa Timur dari Selat Madura. Kalau dibiarkan sangat mengancam kesehatan seafood kita. Ini akan sangat berbahaya mengacu kesehatan masyarakat yang mengkonsumsi seafood yang berasal dari Selat Madura,” jelasnya.
Prigi juga menilai pemerintah kurang serius menangani soal limbah di Tambak Wedi. “Pemerintah kurang memprioritaskan masalah air. Jangan lupa ini bukan hanya di Tambak Wedi, ada dua lokasi serupa yang dipenuhi salju. Di pompa air Kenjeran, dan Wonorejo. Tiga lokasi ini sama, dan tidak ada upaya serius pengendalian. Pemerintah selalu berdalih, melempar ke industri, dan domestik, tanpa ada upaya melakukan monitoring,” tegasnya.
Ia meminta, pemerintah mencari sumbernya. Jika memang dari industri, harus dicari industrinya.
“Jelas sekali, tiga sungai ini menjadi sungai kewenangan pemerintah Surabaya, tapi tidak ada transparansi informasi, siapa penyebabnya, sumbernya apa, dan bagaimana upaya pengendaliannya,” jelasnya.
Lalu apa yang harus dilakukan pemerintah? Prigi menjawab, ada tiga komponen yang harus bekerja. Yang pertama, produsen harus meredesain produknya.
“Produk deterjen kita produk deterjen yang berantai panjang, susah diurai alam, harus ada dekomposisi agar gampang diurai. Yang kedua, pemerintah harus menyiapkan IPAL komunal. Harus ada intervensi teknologi, pemkot juga harus melakukan pengerukan sedimen agar busa tidak melimpah. Yang ketiga, masyarakat harus mengurangi produk personal care yang banyak mengandung deterjen. Juga mengurangi penggunaan plastik sekali pakai,” katanya.
Pemkot Surabaya Akui Lemahnya Pengawasan IPAL
Sementara itu, Pemerintah Kota Surabaya memiliki sekitar 200-an Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di banyak titik untuk mengolah limbah cair agar tidak langsung mengalir ke sungai atau laut yang berimbas pencemaran lingkungan.
Eko Agus Supiadi Kepala Dinas Lingkungan Hidup Pemkot Surabaya mengakui, pengawasan IPAL di Surabaya masih minim karena keterbatasan jumlah petugas pengawas. Sehingga, banyak di antaranya tidak berfungsi karena jarang dibersihkan atau rusak.
“Saya akui memang (pengawasan) terbatas SDM. Tapi kebanyakan kasus, setelah kita telusuri memang IPAL-nya bermasalah. Ada yang tidak dibersihkan atau rusak,” kata Eko, Senin (22/3/2021).
Eko mengatakan, limbah air sungai selain disebabkan limbah rumah tangga, juga banyak unit usaha makanan yang tidak memiliki sistem pengelolaan limbah.
“Perusahaan-perusahaan yang menghasilkan limbah air, di sini memang wajib (diolah) tapi kadang-kadang ini juga sudah berlanjut, sudah terbangun. Mereka kesulitan tempat seperti ruko-ruko itu ditempatkan di mana,” tambahnya.
Selain IPAL, Eko mengatakan juga ada beberapa program pengelolaan air seperti biopori yang banyak dipasang di taman-taman untuk bisa menyerap air.
“Taman diperbanyak karena bisa menyerap air. Diperbanyak IPAL disedot rutin petugas dinas kebersihan. Sebanyak 200 lebih dan di kampung ada 60-an,” ujarnya.
Eko menambahkan, peran masyarakat juga sangat dibutuhkan jika mengetahui IPAL sedang tidak berfungsi. Sehingga DLH Surabaya dapat segera menangani dengan cepat.(ss/mt)