Media Online Kompaspublik.com-Sejumlah kritik masyarakat berupa coretan di tembok jalanan seperti mural maupun grafiti marak ditindak aparat pemerintah.
Beberapa karya seni yang akhirnya dihapus itu umumnya berisi kritik terhadap pemerintah maupun ungkapan kegelisahan para seniman selama pandemi Covid-19.
Peraturan Daerah (Perda) di beberapa wilayah, termasuk DKI Jakarta, diketahui melarang lukisan atau coretan di dinding atau fasilitas umum.
Namun, Komnas HAM menyebut ada konteks kebebasan berpendapat dan ekspresi seni yang harus dijaga terkait penghapusan mural itu.
Berikut ini beberapa kasus penghapusan mural maupun grafiti di sejumlah daerah, bahkan pembuatnya diburu aparat.
Dipaksa Sehat di Negeri yang Sakit
Salah satu mural yang dihapus terdapat di Bangil, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Mural itu bergambar karakter dua ekor hewan yang menyerupai kucing dengan dibubuhi tulisan “Dipaksa Sehat di Negeri yang Sakit”.
Selama beberapa hari, mural tersebut terpampang di salah satu tembok rumah kosong. Namun, pihak kecamatan setempat menghapus mural tersebut atas arahan dari Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).
Pihak aparat menilai pesan yang termuat dalam mural itu tidak pantas dibaca masyarakat. Terlebih mural itu terpampang di tembok tepi jalan.
“Iya, benar kami yang menghapus. Saya dihubungi Satpol PP dan diminta untuk menghapus mural tersebut,” kata camat setempat, Komari, Sabtu (14/8).
Sementara itu, Kepala Satpol PP Kabupaten Pasuruan Bakti Jati Permana menyebut mural itu melanggar Pasal 19 Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 2 Tahun 2017 tentang ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat.
Menurut Bakti, meski dilakukan di tembok rumah kosong pihaknya menyebut sebagai sarana umum, karena berada di tepi jalan.
Tidak hanya itu, Bakti juga menilai pesan yang termuat dalam mural itu mengandung provokasi atau penghasutan. Ia khawatir masyarakat akan terhasut pesan mural itu.
“Kalau kami mengartikan provokasi juga, menghasutlah. Sekarang kalau misalnya bahasanya ‘Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit’ apakah memang negara kita sakit,” ujarnya.
Jokowi 404: Not Found
Penghapusan mural juga terjadi di daerah lain. Mural bergambar wajah orang mirip Presiden Joko Widodo itu berada di kawasan Batuceper, Kota Tangerang Banten. Pada mural tersebut, mata Jokowi ditutupi tulisan “404: Not Found”.
Aparat gabungan lantas menutup mural tersebut dengan cat hitam.
Kasubag Humas Polres Metro Tangerang Kota, Kompol Abdul Rochim mengatakan mural tersebut mirip wajah Jokowi. Menurutnya, presiden merupakan simbol negara.
“Kami ini sebagai aparat negara melihat sosok Presiden dibikin kayak begitu, itu kan pimpinan negara, lambang negara. Kalau untuk media kan beda lagi penampakan, pengertian penafsiran. Kalau kami, itu kan pimpinan, panglima tertinggi TNI-Polri,” saat dihubungi, Jumat (13/8).
Tidak hanya itu, aparat setempat juga tengah menyelidiki perkara ini. Polisi juga masih mencari sosok yang menggambar mural tersebut. Menurut Rochim pihaknya belum mengetahui identitas penggambar mural.
“Tetap diadakan penyelidikan, untuk pengusutan gambar-gambar itu. (Pelaku) masih dicari, tetap akan dicari,” kata Rochim.
Tuhan Aku Lapar
Kasus lainnya adalah grafiti bertuliskan “Tuhan Aku Lapar” yang terpampang di sebuah tembok di Tigarkasa, Kabupaten Tangerang.
Kalimat tersebut ditulis dengan huruf balok berukuran besar di sebuah tembok pinggir jalan.
Tidak berselang lama, grafiti ini juga dihapus oleh aparat kepolisian setempat dengan cat hitam.
Menanggapi penghapusan mural yang mengandung kritik sosial, Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Bidang Komunikasi Faldo Maldini menyatakan pembuatan mural harus mengantongi izin. Jika tidak, itu merupakan perbuatan yang melanggar hukum.
“Jadi, mural itu, ga salah. Kalau ada ijinnya. Kalau tidak, berarti melawan hukum, berarti sewenang-wenang,” kata Faldo lewat akun Twitter miliknya, @FaldoMaldini, Jumat (13/8).
Sementara itu, Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun, mengkritik tindakan aparat yang menghapus mural berisi kritik sosial seperti mural bergambar Presiden Joko Widodo dengan tulisan 404: Not Found di Tangerang dan mural “Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit” di Pasuruan.
Menurut Ubed, penghapusan mural itu merupakan bentuk baru represi dan pembungkaman.
“Tindakan aparat menghapus mural kritik sosial itu dalam perspektif demokrasi adalah bentuk baru represi dan pembungkaman yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi,” ujar Ubed saat dihubungi, Sabtu (14/8).
Ubed juga mengkritisi tindakan aparat yang sampai mengejar pembuat mural itu. Menurut dia, aparat seperti mengejar penjahat.
Ubed menjelaskan, mural merupakan ekspresi jiwa, perasaan, aspirasi, atau kritik simbolis melalui melukis di atas dinding, tembok, atau permukaan luas, dan biasanya bersifat permanen. Oleh karena itu, menurut Ubed, mural merupakan karya seni.
Sebagai karya seni, menurut Ubed, ia hanya bisa dinilai dan diperdebatkan. Terlebih lagi karya mural yang berisi kritik sosial tidak dapat dihakimi, apalagi dihapus tanpa diskusi.
Ubed juga menjelaskan, fenomena kritik sosial melalui mural itu menunjukkan tanda-tanda bahwa protes melalui saluran lain telah banyak dibungkam dan tidak lagi di dengar oleh kekuasaan.
“Jadi kritik sosial mural itu ekspresi dari aspirasi rakyat yang tersumbat,” ujarnya.(med)