Media Online Kompaspublik.com-Sertifikat vaksin Covid-19 tak ubahnya seperti “kartu sakti” karena menjadi syarat bagi masyarakat untuk dapat mengakses layanan publik, dari sebelumnya transportasi umum hingga kini pusat perbelanjaan.
Namun, epidemiolog melihat kebijakan itu adalah bentuk “ketidakadilan sosial” karena tidak berpihak kepada mereka yang tidak dapat divaksinasi akibat penyakit penyerta (komorbid) atau karena kehabisan stok vaksin.
Lembaga pemantau, LaporCovid 19, meminta pemerintah untuk fokus menyediakan stok vaksin dan mendistribusikan hingga ke daerah dengan waktu cepat dan merata, alih-alih “mengembar-gemborkan” kartu vaksin.
Pemerintah pusat mengklaim, kebijakan ini telah mengakomodir berbagai masukan dari banyak pihak dan pakar, dan mereka yang memiliki komorbid tetap dapat beraktivitas dengan melampirkan surat keterangan dokter.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan kartu vaksin akan menjadi syarat bagi masyarakat untuk dapat mengakses tempat umum.
Kebijakan kartu vaksin itu diujicobakan mulai 10 hingga 16 Agustus 2021 di empat kota di Indonesia, yaitu Jakarta, Kota Bandung, Surabaya, dan Semarang.
Kebijakan tersebut telah diterapkan di Jakarta yang tertuang dalam Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 966 Tahun 2021 tentang PPKM Level 4 Covid-19 yang disahkan pada 3 Agustus 2021 di mana setiap orang yang akan melakukan aktivitas di tempat publik harus sudah divaksinasi minimal dosis pertama.
Sementara itu, Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo mengatakan kebijakan itu tidak adil dan belum akan melaksanakannya.
Epidemiolog: kartu ‘sakti’ vaksin bentuk ketidakadilan sosial
Epidemiolog yang juga Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra tidak setuju dengan kebijakan pemerintah tersebut dan menyebut kartu vaksin akan menimbulkan ketidakadilan sosial di masyarakat.
“Ada dua kondisi sekarang, yaitu sekelompok orang yang tidak bisa mengakses vaksin karena komorbid dan kelompok lain yang tidak divaksin karena stok tidak tersedia,” kata Hermawan.
“Dan mereka tidak divaksinasi bukan karena tidak mau, sementara kartu itu jadi persyaratan, menjadi kartu sakti dalam mengakses layanan publik, itu kan ketidakadilan namanya,” ujarnya.
Faktor lain mengapa ia menolak rencana itu adalah karena efikasi vaksin hanya sekitar 50% dan juga jumlah masyarakat yang mendapatkan vaksin masih rendah.
Hingga Senin kemarin (09/08), menurut data Kementerian Kesehatan, jumlah masyarakat yang sudah divaksinasi dosis kedua baru 11,63% atau 24.212.024 orang dari target 208 juta orang yang menjadi sasaran vaksinasi Covid-19.
Sementara jumlah masyarakat yang disuntik vaksin Covid-19 dosis pertama yakni sebanyak 50.630.315 orang atau 24,31%.
Dari 20 juta orang itu, kata Hermawan, hanya sekitar 10 juta yang memberikan respon imunitas.
“Itu kan sama dengan tidak ada gunanya. Kalau belum ada stok vaksin yang cukup dan tidak mampu melakukan vaksin secara besar, ya jangan dijadikan persyaratan. Lebih baik melaksanakan protokol kesehatan yang tegas dan melakukan vaksin 100% jika ingin relaksasi aktivitas masyarakat, tidak perlu kartu vaksin,” kata Hermawan.
Senada dengan itu, tim advokasi dari LaporCovid-19, Agus Sarwono meminta pemerintah untuk menarik rencana tersebut.
“Jangan pemerintah menggembar-gemborkan kartu vaksin dapat digunakan untuk akses layanan publik, seperti ke mal dan sebagainya. Tapi yang prioritas dilupakan, yaitu memastikan stok vaksin tersedia, dan distribusi hingga ke pelosok-pelosok terkecil. Kasihan kan masyarakat,” kata Agus.
Ada di beberapa daerah saat ini mengeluhkan kekurangan stok vaksin dari pusat, di antaranya di Kalimantan Timur, Jawa Timur dan Sumatera Utara.
Hingga Jumat lalu (06/08), Indonesia telah mendatangkan sekitar 180 juta dosis vaksin. Lebih dari setengahnya telah terdistribusi ke daerah dan sisanya dalam proses pengolahan.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, pada Senin (02/08) mengatakan, stok vaksin akan bertambah sebesar 331 juta hingga Desember mendatang.
Menanggapi keluhan masyarakat tersebut, Koordinator Tim Pakar dan Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito mengatakan kebijakan wajib vaksinasi untuk pengunjung pusat perbelanjaan dan fasilitas publik lainnya telah mengakomodasi berbagai masukan dari banyak pihak dan pakar.
“Dan hal ini juga menjadi masukan tanpa menutup mata dari kondisi yang ada di lapangan … Pada prinsipnya pemerintah mengambil kebijakan dengan memprioritaskan keselamatan dan kesehatan masyarakat,” kata Wiku.
Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 dari Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan rencana penggunaan kartu vaksin sebagai syarat aktivitas di ruang publik adalah bagian dari pembukaan secara bertahap di daerah yang masih melaksanakan PPKM level 4.
“Jadi memang tujuannya adalah untuk melindungi warga terhadap risiko penularan,” ujarnya.
Nadia juga menegaskan, warga yang memiliki komorbid dan tidak bisa divaksin masih bisa melakukan aktivitas di ruang publik hingga menggunakan transportasi umum.
“Tentunya kendalikan penyakit penyertanya sehingga bisa diberikan vaksin tapi kalau memang tidak bisa sementara ini mendapatkan vaksin, bisa mendapatkan surat keterangan dari dokter yang merawatnya,” ujar Nadia.
Kepala Dinas Industri dan Perdagangan Jawa Barat Arifin Soedjayana mengatakan bagi warga yang tidak bisa divaksin karena alasan kesehatan dan belum cukup umur, bisa menunjukkan hasil tes antigen atau PCR jika hendak masuk ke mal atau fasilitas publik lainnya.
“Di (panduan) situ ada poin bahwa kalau yang tidak bisa divaksin atau belum divaksin, mereka bisa antigen dengan jangka waktu 1×24 jam atau PCR 2×24 jam,” ujar Arifin sambil menegaskan tes Covid-19 harus di laboratorium yang terdaftar di pedulilindungi.id.(bc)