HOME // Pendidikan

Sekolah Tatap Muka Harus Memenuhi Sejumlah Persyaratan

 Pada: Selasa, 18 Agustus 2020

 

Mendikbud, Nadiem Makarim

Surabaya, Media Online kompaspublik.com-Nadiem Makarim Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) mengatakan, satuan pendidikan tidak bisa begitu saja melaksanakan sekolah tatap muka, walaupun tingkat risiko di wilayah itu masuk kategori rendah (zona hijau).

Menurutnya, ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi, antara lain izin dari kepala daerah sampai orang tua/wali siswa.

“Walau pun berada di zona hijau dan kuning, satuan pendidikan tidak bisa melakukan pembelajaran tatap muka tanpa ada persetujuan dari pemerintah daerah/dinas pendidikan dan kebudayaan, kepala sekolah, dan persetujuan orang tua/wali siswa yang tergabung dalam komite sekolah,” ucap Nadiem kepada Tim Komunikasi Komite Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional, Sabtu (8/8/2020), di Jakarta

Kalau sekolah sudah melakukan pembelajaran tatap muka, persyaratan terakhir yang wajib dipenuhi adalah persetujuan dari orang tua atau wali peserta didik.

“Kalau orang tua atau wali siswa tidak setuju, maka peserta didik tetap belajar dari rumah dan itu tidak bisa dipaksa,” imbuh Nadiem.

Lebih lanjut, Mendikbud menyampaikan pembelajaran tatap muka akan dilakukan secara bertahap dengan syarat 30-50 persen dari standar peserta didik per kelas.

“Untuk SD, SMP, SMA dan SMK dengan standar awal 28-36 peserta didik per kelas menjadi 18 peserta didik. Untuk Sekolah Luar Biasa, yang awalnya 5-8 peserta didik menjadi 5 peserta didik per kelas. Untuk PAUD dari standar awal 15 peserta didik per kelas menjadi 5 peserta didik per kelas,” paparnya.

Jumlah hari dan jam belajar akan dikurangi, dengan sistem pergiliran rombongan belajar (shift) yang ditentukan oleh masing-masing satuan pendidikan sesuai dengan situasi dan kebutuhan.

Tapi, kalau satuan pendidikan terindikasi dalam kondisi tidak aman atau tingkat risiko daerah berubah, maka pemerintah daerah wajib menutup kembali satuan pendidikan.

“Implementasi dan evaluasi pembelajaran tatap muka adalah tanggung jawab pemerintah daerah yang didukung pemerintah pusat. Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan Provinsi atau Kabupaten/Kota, bersama dengan Kepala Satuan Pendidikan wajib berkoordinasi terus dengan satuan tugas percepatan penanganan Covid-19 untuk memantau tingkat risiko di daerah,” tegas Nadiem.

Baca Juga :  Biaya Study Campus SMAN I Bangsal, Diduga Pungli

Menanggapi banyaknya satuan pendidikan di daerah terdepan, terluar, tertinggal (3T) yang sangat kesulitan melaksanakan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) karena minimnya akses, Nadiem bilang, itu bisa berdampak negatif terhadap tumbuh kembang dan psikososial anak secara permanen.

“Saat ini, 88 persen dari keseluruhan daerah 3T berada di zona kuning dan hijau. Dengan adanya penyesuaian SKB ini, maka satuan pendidikan yang siap dan ingin melaksanakan pembelajaran tatap muka memiliki opsi untuk melaksanakannya secara bertahap dengan protokol kesehatan yang sangat ketat,” pungkasnya.(rid/tin)

Sekolah Tatap Muka Dimulai Jenjang SMA

Ketua Rumpun Kuratif Gugus Tugas Covid-19 Jawa Timur, Joni Wahyuhadi

Joni Wahyuhadi Ketua Rumpun Kuratif Gugus Tugas Covid-19 Jawa Timur menyarankan persiapan pembelajaran tatap muka dilakukan pada sekolah jenjang SMA sederajat terlebih dulu. Karena siswa usia SMA lebih bisa diajak komunikasi untuk protokol kesehatan ketat.

“Karena itu harus dicoba dulu, dengan gradasi, kalau menurut saya dimulai dari anak SMA kemudian turun-turun ke belakang. Kenapa anak SMA? Mereka lebih bisa diajak komunikasi. Bayangkan kalau anak TK dan SD. Bayangkan,” ujar Joni di Gedung Negara Grahadi, Sabtu malam (8/8/2020).

Joni mengungkapkan, membuat keputusan pembelajaran tatap muka bagi anak-anak perlu perhitungan yang matang. Karena penerapan protokol kesehatan pada anak-anak lebih sulit dari orang dewasa.

“Memang case-nya pada anak-anak tidak terlalu banyak. Cuma pada anak-anak klinisnya itu beda dengan dewasa. Jadi, untuk anak-anak mesti harus lebih hati-hati, karena penerapan protokol kesehatan pada anak-anak itu lebih sulit. Mereka kalau sudah ketemu kawannya seperti itu, makanya harus hati-hati,” katanya.

Joni juga bilang, membuat keputusan pembelajaran tatap muka perlu disertai kajian epidemiologi. Kondisi wilayah tersebut zona hijau atau tingkat penularan Covid-19 juga harus sudah turun. Itu pun perlu diikuti tahapan prakondisi dan berulangkali simulasi disertai evaluasi.

“Kalau pendapat saya, mesti hijau dulu. Artinya Rt-nya (reproduksi efektif) di bawah satu. Penularannya sudah mulai menurun dan tidak ada case. Artinya, kans untuk timbulnya penyakit itu kecil,” kata Joni.

Baca Juga :  Sistem Manajemen Organisasi Pendidikan STIESIA Surabaya Peroleh Standarisasi Dunia

Evaluasi kata Joni juga perlu disertai testing secara periodik. Dia mencontohkan testing periodik yang dilakukan pada petugas medis yang menangani Covid-19 selama ini.

“Mungkin dilakukan periodik testing, seperti yang kita lakukan di rumah sakit. Itu ada periodik testing setiap dua minggu orang yang kita tugaskan merawat pasien Covid kita lakukan tes apakah dia tertular atau tidak. Kalau enggak tertular, ya, istirahat, kalau tertular, ya, isolasi. Mungkin pada anak-anak juga demikian,” katanya.

Joni mengingatkan kepada pemerintah daerah agar mempertimbangkan dengan matang terkait keputusan sekolah tatap muka. Belajar dari pengalaman di China setelah mereka menerapkan sekolah tatap muka dengan proteksi tapi masih bobol banyak yang positif.

“Anak-anak itu gejalanya tidak terlalu khas. Hati-hati. Bahkan Ikatan Dokter Indonesia sendiri mengatakan sangat harus hati-hati. Anda lihat pengalaman di China, masuk anak-anak dengan kayak gitu proteksinya, tapi apa yang terjadi, dua minggu kemudian 70 positif. Oleh karena itu harus hati-hati,” katanya.(ss)

Dewan Pendidikan Jatim Sebut Mendikbud Tidak Konsisten

Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur, Akhmad Muzakki

Akhmad Muzakki Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur merespons wacana pembelajaran tatap muka (PTM) dari Nadiem Anwar Makarim Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Menurutnya, kebijakan itu tidak konsisten. Terutama karena Mendikbud menyerahkan kewenangan pembukaan sekolah kepada masing-masing pemerintah daerah.

“Ini yang enggak konsisten. Persoalan strategis justru diserahkan ke daerah. Nanti kalau ada apa-apa daerah yang kena,” katanya, Senin (10/8/2020).

Muzakki bilang, seharusnya Mendikbud hati-hati mengambil kebijakan dan lebih konsisten. Tidak lantas sepenuhnya menyerahkan pada Pemda dengan indikator yang sangat longgar.

“Saya melihat itu. Agar konsisten. Karena sebelumnya kewenangan diserahkan ke pusat melalui SKB 4 menteri. Sekarang beda lagi, Pemda boleh membuka sekolah di zona kuning. Kasihan Pemda jika menanggung beban seperti ini,” katanya.

Jika pemerintah sudah memutuskan itu, dia mengatakan, tidak ada cara lain untuk menyiapkan kelengkapan dalam menjamin protokol kesehatan yang harus dilakukan.

“Jangan lupa, Pemda penting untuk melakukan sinergi dengan orang tua. Karena Inti dari semuanya, kalau di level orang tua, (disiplin) anak longgar anak juga remeh,” katanya.

Baca Juga :  SMPN 04 Gresik, Diduga Adakan Pungli Rutin

Guru Besar Sosiologi Pendidikan Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (Uinsa) ini juga mempertanyakan, faktor pembukaan sekolah. Dia melihat ada dua kepentingan.

Pembelajaran tatap muka karena pertama adanya faktor ekonomi, kedua karena adanya faktor eko-sosial.

“Dua pertimbangan itu jangan sampai menurunkan disiplin menjaga kesehatan. Penting juga melihat hasil survei data BPS dampak sosial ekonomi Covid-19. Semakin muda usia, semakin longgar disiplin kesehatannya. Khawatirnya, ke depan akan muncul potensi penularan baru di sekolah,” katanya.

Dia pun berpendapat, kebijakan itu harus seimbang dengan tetap memperhatikan jaminan kesehatan siswa dan guru. Sebab, menurutnya, budaya disiplin kesehatan masyarakat masih terbilang rendah.

“Apalagi status darurat PBB tidak ada. Jadi masyarakat menganggapnya kita sudah baik-baik saja. Padahal belum,” pungkasnya.

Sementara itu adanya wacana tersebut sontak menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat.

Salah satunya Nur Hayati (40) warga Tandes, menyambut baik dengan adanya wacana tersebut.

“Saya secara pribadi menyembut baik dengan adanya wacara itu (sekolah tatap muka)” kata Nur Hayati, Kamis (13/8).

Nur Hayati  mengatakan, selama ini anak-anak tidak memiliki jadwal yang tepat. Terutama ketika diberlangsungkannya sekolah daring.

Sekolah daring, katanya, sangatlah tidak efektif. “Kalau mau belajar ya harus di sekolah, kalau di rumah disiplinnya tidak terbentuk,” ujarnya yang memiliki anak baru masuk sekolah di SMKN di Surabaya.

Ia juga menyadari apabila dengan adanya masa pandemi Covid-19 ini sangatlah rentan. Namun dengan berbagai protokol kesehatan yang sudah ditetapkan pemerintah seharusnya sudah cukup.

Lain dengan Nur Hayati, Supardi (45) Warga Banyuurip, mengaku risau dengan adanya wacana sekolah tatap muka.

Apalagi, kata Supardi, dengan adanya cluster baru Covid-19 di perkantoran dan sekolah membuatnya risau.

“Kalau tidak setuju sih tidak, karena anak-anak juga sudah jenuh di rumah terus, tapi kan sekarang fenomena klaster baru di perkantoran, apakah itu tidak dipertimbangkan?” tanyanya.

Ia juga berharap pemerintah bisa mempertimbangkan dengan baik sekolah tatap muka ini.(tim)


Sudah dibaca : 156 Kali
 


Berkomentarlah yang bijak. Apa yang anda sampaikan di kolom komentar adalah tanggungjawab anda sendiri.