Screenshoot unggahan WhatsApp di akun facebook fadilah firmansyah |
Narasi itu bermula dari pertanyaan tentang tingkat keparahan kasus Covid-19 di Surabaya. Namun, pertanyaan itu dibalas dengan jawaban bahwa seluruh berita tentang kasus Covid-19 di Surabaya tidak berdasarkan fakta, hanya bertujuan menakuti warga.
Kemudian, terdapat narasi yang mengaitkan kasus Covid-19 di Surabaya adalah hasil konspirasi. “Bodohnya masyarakat +62 mah gitu. Kaga tahu yg asli tapi udah pada nyebarin.” Saat ditanya sumber dari informasi tersebut, ia menjawab, “Baca teori konspirasi.“
Akun Fadilah Firmansyah pun memberikan narasi berupa pertanyaan terhadap klaim dalam gambar tangkapan layar itu, “Ya ampun hyungg… Apa bener covid-19 di surabaya hanya sebuah konspirasi elit global?” Hingga artikel ini dimuat, unggahan ini telah dibagikan lebih dari 100 kali.
Unggahan tersebut beredar di tengah meningkatnya jumlah kasus Covid-19 di Surabaya. Per 3 Juni 2020, kasus positif Covid-19 di Surabaya telah mencapai 2.803 orang. Kasus Covid-19 di Surabaya ini tertinggi dibandingkan kabupaten atau kota lainnya di Jawa Timur.
Apa benar parahnya kasus virus Corona Covid-19 di Surabaya adalah konspirasi elite global?
PEMERIKSAAN FAKTA
Sejak 1 Mei 2020, seperti dikutip dari Reuters, jumlah kasus Covid-19 di Jawa Timur memang meningkat lebih dari 300 persen, menjadi 4.313 orang per 28 Mei 2020. Sementara itu, kenaikan kasus Covid-19 di Jakarta dalam periode yang sama hanya sekitar 60 persen, menjadi 7.001 orang per 28 Mei 2020. Sebagian besar kasus Covid-19 di Jawa Timur ini berpusat di Surabaya.
Meskipun begitu, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa melonjaknya kasus Covid-19 di Surabaya hanyalah konspirasi elite global. Berikut ini analisis dari beberapa sumber terkait lonjakan kasus di Surabaya:
– Masifnya tes
Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Doni Monardo, mengatakan tingginya lonjakan kasus Covid-19 di Jawa Timur disebabkan oleh masifnya pemeriksaan yang dilakukan oleh kepala daerah setempat. “Keberhasilan testing ini sangat menentukan dalam mengurangi dan memutus rantai Covid-19,” ujar Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana tersebut.
Sumber: Kumparan.com
– Mobilitas di bandara
Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Jawa Timur menyatakan lonjakan kasus infeksi virus Corona Covid-19 di daerahnya terjadi karena faktor mobilitas tinggi di Bandara Internasional Juanda, Surabaya. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Ketua Rumpun Kuratif, Joni Wahyuhadi, jumlah penerbangan di Bandara Juanda, baik tiba maupun berangkat, menunjukkan grafik yang terus meningkat setiap hari.
“Grafiknya naik terus dari ke hari. Kita lihat yang datang dan yang berangkat juga tambah. Ini data dari Juanda. Per hari ada 1.400-1.500, walaupun sudah dilakukan screening, tapi ini juga bagian dari itu,” katanya. Sebaliknya, data mobilitas kendaraan darat yang keluar-masuk Surabaya relatif stabil dan tidak menunjukkan kenaikan signifikan.
Sumber: CNN Indonesia
– Transmisi lokal
Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, menyatakan penularan secara lokal atau transmisi lokal di Surabaya menyumbang lonjakan kasus tertinggi pada 21 Mei 2020. Saat itu, terjadi penambahan kasus Covid-19 secara nasional hingga 973 orang. Dari angka tersebut, Jawa Timur menyumbang 502 orang.
Menurut Yuri, hasil tes yang disampaikan ketika itu merupakan hasil infeksi virus Corona Covid-19 yang terjadi sepekan sebelumnya. “Penambahan kasus yang tinggi bisa disebabkan banyak faktor. Selain kapasitas tes kita yang naik, juga karena masih ada masyarakat yang tidak mematuhi protokol kesehatan,” ujar Yuri.
Sumber: Republika.co.id
– PSBB tidak berjalan
Surabaya mulai menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada 28 April 2020 dan telah diperpanjang hingga dua kali. PSBB fase ketiga akan berakhir pada 8 Juni mendatang. Namun, ahli epidemiologi Universitas Airlangga, Windhu Purnomo, menilai PSBB sejak awal tidak berjalan sesuai harapan. Hingga kini, kondisi Surabaya belum bisa dikategorikan aman.
“Penyebabnya, kenapa masih belum aman, adalah perilaku masyarakat karena pemerintah tidak melakukan kontrol yang ketat. Tidak ada sweepingdi jalanan di Surabaya, hanya di checkpoint di batas kota. Katanya dulu ada jam malam, tapi masih biasa, setelah jam 9 tetap ramai. Ya sudahlah, sekarang ini seperti tidak ada PSBB, sudah,” kata Windhu pada 3 Juli 2020.
Aditya Janottama, dokter di rumah sakit rujukan di Surabaya, menyayangkan masih banyak anggota masyarakat yang meremehkan bahaya pandemi Covid-19. “Tidak ada edukasi yang ngena ke masyarakat. Mungkin perlu dipikirkan edukasi dengan bahasa lokal, misalnya logat Jawa Surabayan,” katanya. Ia berharap ada kerja sama dari seluruh pihak untuk menangani pandemi ini.
Sumber: BBC
Munculnya teori konspirasi elite global
Narasi bahwa Covid-19 adalah hasil konspirasi elite global menjadi narasi yang cukup sering beredar di tengah pandemi ini. Peneliti di Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Rizalinda Syahril, mengatakan tuduhan itu belum didukung dengan bukti yang nyata. “Saya dan kolega saya setuju bahwa belum ada bukti nyata yang mendukung teori konspirasi ini. Ada beberapa video dan narasi yang menyebar melalui WhatsApp. Ini mungkin terjadi, tapi kami tidak memiliki bukti,” kata Rizalinda pada 28 Mei 2020 dalam sebuah diskusi online terkait Covid-19.
Rizalinda menuturkan, secara alami, virus penyebab Covid-19, SARS CoV-2, kemungkinan mengalami evolusi. Sehingga, jika virus ini bisa bertahan melawan seleksi alam, justru akan menimbulkan penyakit. Virus Corona sudah dikenal sejak 1965. Saat itu, virus ini menginfeksi mamalia dan burung, lalu memunculkan gejala enteritis pada sapi dan babi. Virus lalu menyebabkan infeksi saluran napas atas pada ayam dan manusia. “Virus menyebar ke berbagai wilayah, Amerika, Eropa, karena transmisinya tidak dihentikan, akhirnya mengenai banyak daerah,” kata Rizalinda.
Dari sisi karakteristik, SARS CoV-2 memiliki kecepatan transmisi 2-3,5. Artinya, sebanyak 2-4 orang bakal sakit akibat satu orang yang terinfeksi dengan sifat super spreader yang mudah sekali menular. “Virus juga super shedder. Ketika ada virus di tubuh seseorang, virus dikeluarkan dari saluran napas atau lainnya sekali pun tanpa gejala. Sebesar 12,6 persen penularan terjadi sebelum adanya gejala pada pasien sumber. Sekitar 2-3 hari, orang sudah bisa sakit sejak bertemu orang sumber infeksi,” ujarnya.
Menurut artikel di Nature pada 17 Maret 2020, penelitian terhadap struktur genetik SARS-CoV-2 juga menunjukkan bahwa tidak ada manipulasi Covid-19 di laboratorium. Para ilmuwan memiliki dua penjelasan tentang asal-usul virus tersebut, yakni seleksi alam pada inang hewan atau seleksi alam pada manusia setelah virus melompat dari hewan. “Analisis kami dengan jelas menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 bukan hasil konstruksi laboratorium atau virus yang dimanipulasi secara sengaja.”
KESIMPULAN
Berdasarkan pemeriksaan fakta, klaim bahwa parahnya kasus Covid-19 di Surabaya hanyalah konspirasi elite global, keliru. Menurut sejumlah ahli dan pejabat Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, terdapat empat faktor yang menyebabkan kasus Covid-19 di Surabaya melonjak, antara lain semakin masifnya tes, besarnya mobilitas penumpang di Bandara Internasional Juanda, transmisi lokal, dan tidak berjalannya PSBB sesuai harapan. Selain itu, penelitian menyatakan bahwa virus Corona penyebab Covid-19, SARS-CoV-2, bukanlah hasil manipulasi laboratorium.(IN)